Thursday, December 19, 2013

Hanya Melayani, Bukan Menilai atau Menghakimi

Pada suatu hari seorang pengemis wanita, yang dikenal dengan sebutan "Bag Lady" (karena segala harta-bendanya termuat dalam sebuah tas yang ia jinjing kemana-mana sambil mengemis), memasuki sebuah toko serba ada yang mewah sekali.

Hari-hari itu menjelang Natal. Toko itu dihiasi indah sekali. Semua lantainya dilapisi karpet yang baru dan indah. Meskipun bajunya kotor dan penuh lubang, pengemis itu tanpa ragu-ragu memasuki toko ini. Badannya mungkin sudah tidak mandi berminggu-minggu. Bau badan menyengat hidung.

Ketika itu, ada seorang pria yang mengikutinya dari belakang. Ia berjaga-jaga, kalau petugas sekuriti toko itu mengusir pengemis ini, pria itu mungkin akan membela atau membantunya. Wah, tentunya pemilik atau pengurus toko mewah ini tidak ingin ada pengemis kotor dan berbau yang mengganggu pelanggan terhormat toko itu. Begitu pikir pria itu.

Tetapi pengemis itu terus masuk ke bagian-bagian dalam toko itu. Tak ada petugas keamanan yang bisa mencegah dan mengusirnya. Aneh juga ya, padahal para pelanggan yang berlalu lalang memakai pakaian mewah dan mahal. Di tengah toko itu ada sebuah piano besar  yang dimainkan seorang pianis dengan jas tuksedo mengiringi para penyanyi bergaun indah.

Pengemis itu terlihat tidak cocok dengan suasana di toko itu. Ia nampak seperti makhluk aneh di lingkungan yang gemerlapan itu, tetapi sang "Bag Lady" berjalan terus. Pria itu pun mengikuti terus dari jarak tertentu.

Rupanya pengemis itu  mencari sesuatu di bagian gaun wanita. Ia mendatangi counter paling eksklusif yang memajang gaun-gaun mahal bermerek. Kalau dikonversi dengan kurs akhir-akhir ini, harganya dalam rupiah pasti lebih dari Rp20 juta untuk satu gaun.

Baju-baju yang mahal dan mewah! Apa yang dilakukan pengemis ini? Seorang pelayan bertanya, "Apa yang dapat saya bantu?"

"Saya ingin mencoba gaun merah muda itu!" jawab si pengemis.

Bila kita ada di posisi si pelayan itu, bagaimana respon kita? Wah, kalau pengemis ini mencobanya tentu gaun-gaun mahal itu akan jadi kotor dan bau, dan pelanggan lain yang melihat mungkin akan jijik membelinya setelah ia coba pakai. Tetapi, apa jawaban sang pelayan toko mewah itu?

"Berapa ukuran yang Anda perlukan?"

"Tidak tahu!"

"Baiklah, mari saya ukur dulu."

Pelayan itu mengambil pita meteran, lalu mengukur bahu, pinggang, dan panjang badan pengemis itu. Bau menusuk terhirup ketika ia berdekatan dengan pengemis itu. Pelayan itu tak menghiraukan. Ia layani pengemis itu seperti halnya pelanggan terhormat lainnya.

"Baik, saya sudah mendapatkan nomor yang pas untuk Nyonya! Cobalah yang ini." Pelayan itu memberikan sebuah gaun untuk dicoba di kamar pas.

"Ah, yang ini kurang cocok untuk saya. Bolehkah saya mencoba yang lain?"

"Oh, tentu saja." Pelayan itu menghabiskan waktu kurang lebih dua jam lamanya untuk melayani sang "Bag Lady".

Apakah pengemis ini akhirnya membeli salah satu gaun yang dicobanya? Tentu saja tidak! Gaun seharga puluhan juta rupiah itu jauh dari jangkauan kemampuan keuangannya.

Pengemis itu kemudian berlalu begitu saja, tetapi dengan kepala tegak karena ia telah diperlakukan sebagai layaknya seorang manusia. Biasanya ia hanya dipandang sebelah mata. Tapi hari itu, ada seorang pelayan toko yang melayaninya, menganggapnya seperti orang penting, dan mau mendengarkan permintaannya.

Mengapa pelayan toko itu mau repot-repot melayaninya? Bukankah kedatangan pengemis itu sudah membuang waktunya dan memakan biaya bagi toko itu karena harus mengirim gaun yang sudah dicoba pengemis itu ke Laundry untuk dicuci supaya tampak indah kembali dan tidak bau? Pertanyaan ini ternyata mengganggu pria yang sudah mencoba mengikuti pengemis itu.

Akhirnya, pria itu bertanya kepada pelayan toko setelah ia selesai melayani tamu "istimewa"-nya itu.

"Mengapa Anda membiarkan pengemis itu mencoba gaun-gaun indah ini?"

"Oh, sudah menjadi tugas saya untuk melayani dan berlaku ramah."

"Tetapi, Anda 'kan tahu kalau pengemis itu tidak mungkin sanggup membeli gaun-gaun mahal ini?"

"Maaf, soal itu bukan urusan saya. Saya tidak dalam posisi untuk menilai atau menghakimi para pelanggan saya. Tugas saya adalah untuk melayani dan berbuat baik."

Pria itu tersentak, kaget. Di zaman seperti ini ternyata masih ada orang-orang yang tugasnya adalah melayani dan berbuat baik, tanpa perlu menghakimi orang lain.

Pria itu pun akhirnya bercerita kepada banyak orang, bahkan kemudian kisah pengemis itu diberitakan di halaman-halaman surat kabar di kota itu. Berita itu menggugah banyak orang yang ingin dilayani di toko eksklusif itu.

Pengemis wanita itu tidak membeli apa-apa, tidak memberi keuntungan apa pun. Namun, akibat perlakukan istimewa toko itu kepadanya, hasil penjualan toko itu meningkat drastis, sehingga pada bulan itu keuntungan naik hingga 48%.
Sent from BlackBerry® on 3

No comments:

Post a Comment