Tuesday, March 24, 2015

Inspirasi - Bahagia Itu Pilihan

Ada seorang perampok yang tinggal di kaki bukit Pegunungan Himalaya di India. Dari tebing berbatu dan hutan gelap, dan di lereng pegunungan itulah si perampok mencari mangsanya. Ia mengincar para wisatawan yang lewat, mengambil uang mereka atau membunuh mereka jika mereka menolak memberikannya.

Ketika itu lewat seorang pedagang kaya yang berjalan menaiki jalan di hutan dekat sarang si perampok. Perampok itu melompat dari balik batu sambil mengacungkan pedangnya. "Uang atau hidup Anda," teriaknya dengan suara paling kejam dan menakutkan.

Pedagang kaya itu jatuh tersungkur di tanah dengan gemetar ketakutan. "Jangan bunuh aku. Tolong jangan bunuh aku!" teriaknya.

Perampok itu kembali mengancam.

"Ini, ambil uangku. Ambil semuanya," pinta pedagang itu sambil meraba-rama dompetnya.

"Tasmu juga," kata si perampok.

"Ya, tentu saja. Bawa saja itu," kata pedagang kaya itu. "Biarkan aku hidup."

"Pergilah!" perintah perampok itu sambil menendang bojong si pedagang kaya itu, dan menyuruhnya segera kembali ke jalan.

Ah, terlalu mudah untuk merampok orang seperti pedagang itu rupanya.

Tapi tidak berarti semua orang mudah untuk dirampok.

Suatu kali ketika si perampok sedang menunggu, seorang musafir berjubah turun dari gunung. Seperti biasa, perampot itu melompat menyergapnya. Ia berteriak, "Tiarap di tanah! Uang atau nyawamu!"

Namun, korbannya tidak menjatuhkan diri ke tanah seperti korbannya yang lain. Sebaliknya, ia melemparkan jubahnya untuk memperlihatkan dirinya adalah seorang prajurit. "Aku akan membunuhmu sebelum aku memberikan uangku," kata prajurit itu sambil menghunus pedangnya.

"Kita lihat saja nanti," balas si perampok sambil melompat ke depan.

Pedang mereka berdentang saat mereka saling dorong dan menangkis, benturan pedang mereka memantul dari dinding ngarai menimbulkan suara riuh.

Prajurit itu memang berani, tapi rupanya ia tidak cocok mengenakan senjata, dibandingkan dengan si perampok yang sangat terampil. Segera saja prajurit itu terbunuh.

Perampok itu mengambil uang, pedang, dan jubah prajurit itu. Lalu ia menyembunyikan tubuh prajurit itu karena ia tidak ingin pasukannya mencarinya.

Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Perampok itu melanjutkan hidupnya dengan merampok atau membunuh korbannya satu demi satu.

Hingga suatu hari seorang yang bijak datang berjalan menyusuri jalan setapak di lereng pegunungan itu. Perampok itu berpikir dua kali bila ingin merampok orang bijak itu karena perampok itu tahu ia adalah orang suci. Tetapi, daerah itu memang sudah terkenal sebagai sarangnya si perampok, maka ia tidak takut lagi untuk menganggap bahwa semua orang bisa menjadi mangsanya.

Ketika orang bijak itu mendekat, si perampok melompat dari tempat persembunyiannya, dan memaksa orang bijak itu tiarap, sambil menghunus pedang di tenggorokannya.

"Berikan semua uangmu," bentak si perampok.

"Saya tidak punya uang," kata orang bijak itu.

"Aku pernah dengar itu sebelumnya," kata perampok, kepada korbannya.

Ketika mengetahui ternyata bahwa orang tua itu tidak punya uang, perampok itu mengatakan, "Karena Anda tidak punya uang, maka aku akan menyanderamu dan teman-teman Anda akan menebusnya."

"Aku tidak akan membiarkan mereka membayar," kata orang bijak itu.

"Ya, lalu aku akan membunuhmu," teriak perampok itu sambil menekan ujung pedang ke tenggorokan orang bijak itu.

Namun, bukannya gemetar ketakutan, orang bijak itu malahan tertawa.

"Kau pikir kematian adalah hal yang lucu?!" teriak perampok itu.

"Tidak," kata orang bijak itu. "Yang lucu adalah karena kamu pikir bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan dengan pedang."

"Aku bisa," kata perampok itu. "Aku bisa mengendalikan hidup Anda pada saat ini."

"Ya, kamu lakukan itu," kata orang bijak itu. "Tapi kamu tidak mengontrol pengalamanku."

Perampok itu sempat berpikir. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Kau memang mengendalikan hidupku. Jika kamu menekan pedang ke aku, maka aku akan mati. Tapi kamu tidak mengontrol pilihanku untuk menjadi bahagia. Hanya mengontrol itu. Pada saat ini aku memilih untuk menjadi bahagia. Apakah kamu akan membawa saya hidup atau mati adalah pilihanmu. Pilihanku adalah bagaimana aku merasakan bahagia pada saat ini."

Perampok itu berdiam mendengar kata-kata korbannya yang sangat menusuk hatinya. Dalam tahun-tahun yang dilaluinya tidak pernah terpikir olehnya bahwa keadaan di luar tidak perlu dalam menentukan pilihan hidup.

Untuk beberapa saat kedua pria itu berdiri sambil diam. Tiba-tiba perampok itu menjatuhkan pedangnya. Dengan tangan terbuka, ia membantu orang bijak itu berdiri.

"Tidak ada yang pernah berbicara kepadaku seperti itu sebelumnya," kata perampok itu. Tak pernah terpikir sebelumnya, bahwa ada cara lain untuk menemukan kebahagiaan atau kekuasaan pribadi, daripada dengan mengendalikan orang atau peristiwa.

"Aku ingin menjadi muridmu," katanya.

Saat itulah perampok itu memilih jalan baru. Ia mulai ingin mengendalikan pengalaman hidupnya dari dalam dirinya dan bukan dari luar.

No comments:

Post a Comment