Sunday, May 24, 2015

Kisah Motivasi - Lebih Baik Hidup Sederhana dan Kadang-kadang Saja Menikmati Hidup Mewah

Alkisah, ada seorang pria kaya yang tinggal di sebuah kota kecil. Meskipun ia kaya, ia hidup sederhana. Ia memiliki dua putra dan seorang putri. Ia kehilangan istrinya, ketika anak bungsunya berusia hampir tiga tahun. Namun, ia tidak pernah membiarkan anak-anaknya merasa, tidak adanya ibu mereka. Ia mencoba yang terbaik untuk memenuhi keinginan anak-anaknya. Tidak hanya itu, ia sering berbicara kepada anak-anaknya cerita berdasarkan moral, supaya dasar mereka cukup kuat untuk membawa ke masa depan.

Waktu berlalu begitu cepat, pria itu tidak menyadari, bahwa ia sudah di usia tua. Pada saat itulah, anak-anaknya sudah beranjak dewasa.

Suatu hari, si putra sulung datang kepadanya dan bertanya dengan sopan, "Papa, aku punya beberapa bahan diskusi dengan Anda. Bisakah meluangkan waktu untuk itu?"

Ayahnya gembira, dan setuju. Anaknya memulai, "Papa, aku berpikir lama sebelum berbicara dengan Anda, tapi aku tidak pernah mendapat keberanian untuk bertanya. Kini, aku tidak bisa menahan diri untuk mempertanyakan keraguanku ini. Maafkan aku, jika ini menyakiti Anda. Sebenarnya, aku merasa sedikit aneh dua hari sebelum ini ketika Anda menolak memberikan uang kepada seorang pria meskipun Anda tahu ia sangat baik. Seseorang yang dikenal meminta berarti ia sangat membutuhkan itu. Kalau tidak, mengapa ia harus meminta kepada Anda? Selain itu, Anda pernah mengatakan untuk tidak menghabiskan uang secara boros, meskipun Anda memiliki cukup uang. Apakah ada sebab di balik itu?"

Pria tua itu tersenyum dan menepuk punggung anaknya dengan sayang. Setelah jeda sebentar, ia mulai berkata, "Nah, dalam hidup saya, saya telah belajar tiga hal. Pertama, tidak pernah meminjam uang dari orang lain. Kedua, menghabiskan uang dengan strategis. Ketiga, tidak pernah berbohong atau tidak jujur kepada siapa pun."

Biarkan saya beritahumu tentang sesuatu yang belum pernah saya ceritakan sebelumnya karena saya merasa itu tidak penting.

"Kami tidaklah kaya tiga puluh tahun sebelum ini. Saya adalah satu-satunya anak dari orangtua saya. Ayah hanya mendapatkan upah harian yang sedikit. Saya menghabiskan kehidupan yang keras di masa kecil. Ketika Ibu sakit, ayah menghabiskan uang yang ia miliki. Bagian  terburuknya adalah, ketika ia tidak punya tabungan, ia meminjam uang dari orang lain. Hari demi hari, situasi menjadi lebih buruk. Akhirnya, jumlah pinjaman semakin membesar, ia tidak bisa membayar dan stres karenanya, lalu ia meninggal karena serangan jantung. Saya hanya bisa menyaksikannya, saya merasa tak berdaya. Akhirnya saya meninggalkan bangku sekolah. Namun, dengan rahmat Tuhan, saya bisa menikah dengan Ibumu, yang membantu saya, sampai kematiannya. Karena kerja samanya, saya bisa menghemat uang. Sejak saya melihat masalah pada ayah saya, saya berjanji hari itu dan seterusnya, bahwa apa pun mungkin akan datang, saya akan menghemat uang. Itu bukan berarti saya kikir. Saya menghabiskan uang, tetapi hanya bila diperlukan. Apa pun yang kita miliki sekarang, adalah pencapaian kerja keras saya.

Jadi, jelas, saya tidak ingin dimanjakan oleh uang. Pria yang kau maksudkan, telah mengambil uang dari saya dua kali, tapi tidak pernah mengembalikannya. Tampaknya ia memiliki kebiasaan mudah untuk mendapatkan uang dengan meminjam dari orang lain. Sebenarnya, ia bisa bertahan dengan melakukan beberapa pekerjaan. Saya tidak ingin mendorong sikap malasnya yang membuatnya kesulitan di masa depan. Saya tidak ingin menyakitinya, hanya ingin membantunya."

"Untuk pertanyaan kedua, sebelum menjawab, saya ingin menceritakan sebuah cerita pendek, jika kau tidak keberatan," kata pria kaya itu kepada anaknya.

Anak sulungnya itu sangat ingin tahu alasannya, ia menganggukkan kepalanya dan berkata, "Silakan, Pa. Lanjutkan."

Sang ayah melanjutkan, "Ini adalah cerita dari epos Mahabarata. Suatu hari, Pandawa kekurangan beras, sementara mereka dibuang selama dua belas tahun. Yudistira (anak tertua di antara Pandawa) tidak bisa menemukan solusi apa pun. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim saudaranya Bima untuk kuil Dewa Kekayaan, meminta bantuannya. Ia pun meminta Bima untuk pergi ke kuil dan menyampaikan pesannya. Bima pun melakukan perintah Yudistira. Ketika sampai di kuil, ia benar-benar terkejut, melihat situasi yang luar biasa. Ia melihat dari kejauhan, Dewa Kekayaan sedang sibuk mengambil biji-bijian dari tanah. Ia tertegun dan berpikir sendiri, 'seseorang, yang mengambil butiran beras dari tanah, mana mampu memberikan cadangan gabah dalam jumlah besar!'"

Namun, karena ada perintah dari saudara tuanya, ia tidak punya pilihan lain. Dengan ragu-ragu ia melanjutkan ke Kuil Dewa Kekayaan dan dengan hormat menyampaikan pesan yang diberikan oleh Yudistira. Ketika Dewa Kekayaan melihat Bima, Pandawa kedua, ia sangat senang.

Setelah berbasa-basi, Dewa Kekayaan mengucapkan selamat tinggal pada Bima dan mengatur gerobak yang penuh dengan karung gabah untuk dibawanya. Bima terkejut melihat perilaku rendah hati dan baik dari Dewa Kekayaan. Kemudian ia memulai perjalanannya kembali.

Setelah berjalan beberapa meter, ia menemukan jalan di depannya sangat berlumpur. Tidak mungkin gerobak itu melewatinya. Jadi ia kembali ke kuil Dewa Kekayaan, dan menceritakan kesulitannya.

Dewa Kekayaan dengan dingin mendengarkan masalah Bima. Ia tersenyum dan berkata, "Oh, Bima! Untuk apa kau begitu panik? Turunkan satu atau dua karung gabah di lumpur itu dan lewatlah dengan gerobak melalui itu."

Bima terkejut dan berdiam diri selama beberapa detik. Ia tidak bisa mempercayai diri bahwa orang yang sama, yang mengambil biji-bijian, bisa menyarankannya untuk membuang kantung gabah. Namun, ia berangkat juga dan menuruti nasihat Dewa Kekayaan.

Setelah tiba di rumah, ia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada kakaknya dan menyatakan perasaannya sendiri tentang Dewa Kekayaan. Yudistira bisa memahami apa yang dialami Bima. Ia tersenyum dan berkata, "Ini sangat sederhana, Bima. Dewa Kekayaan adalah orang yang mulia. Ia mengajarkan sebuah pelajaran, bahkan sebutir gabah tidak boleh disia-siakan, karena memiliki nilainya sendiri. Oleh karena itu, ia mengambil butiran gabah yang berserakan di tanah. Tapi, ketika tuntutan waktu, membuang karung biji-bijian jika diperlukan tanpa ragu-ragu, mengerti? Itu prinsipnya." Bima menyadari kesalahannya dan merasa malu.

Sang ayah menatap wajah anak sulungnya setelah menyelesaikan ceritanya. Ia kembali melanjutkan, "Jika saya tidak menggunakan uang saya dengan strategis, mungkin, saya tidak bisa mengurus kalian bertiga dengan benar. Saya bisa menghabiskan uang dengan kemewahan atau saya membiarkan kalian bertiga melakukan hal yang sama. Tak satu pun dari kalian bisa berdiri di kaki sendiri sampai sekarang, sementara sumber pendapatan hanya satu, kau tau itu. Hal ini di luar moralitas saya di masa depan, jika uang yang diperlukan untuk kalian harus bergantung pada seseorang untuk membantu. Saya tidak suka sama sekali, dan kau tahu? Siapa pun mungkin menjadi jutawan atau miliarder, jika ia pergi untuk menghabiskan uang dengan boros tanpa penghasilan apapun dan tabungan, maka ia akan menjadi orang miskin, tanpa ragu. Selain itu, setelah kau terbiasa akan hidup mewah, sangat sulit menyesuaikan diri  dengan kehidupan sederhana. Karena uang tidak memiliki jaminan. Jika hari ini kau kaya, besok siapa yang tahu, bagaimana kondisimu? Jadi lebih baik untuk hidup sederhana dan kadang-kadang saja menikmati waktu mewah. Kendalikan uangmu, habiskan waktu dengan bijak, dan hidup seperti raja. Nak, mudah-mudahan saya bisa menjawab pertanyaanmu. Tentu saja, saya tidak yakin apakah kau puas atau tidak."

Sang anak berdiri, mengangguk gembira, menunjukkan bahwa ia cukup puas. Ia meninggalkan tempat itu dengan senyum.

Ya, tidak ada yang bisa melihat besok. Pria tua itu memberi beberapa petunjuk waktu yang baik dan buruk dalam kehidupan, yang mungkin terjadi pada siapa pun. Seberapa jauh anak-anaknya dapat mengambil hikmat, hanya Tuhan yang tahu! Tentu saja, pilihan ada di tangan kita, cara hidup kita, apakah menghabiskan uang dengan boros atau menghabiskan dengan bijak.

No comments:

Post a Comment