Wednesday, December 23, 2015

Kisah Natal: Berikan Aku Seorang Ayah

Secarik kertas koran terbang dikipas angin dan tersangkut pada tiang listrik. Dari kejauhan bisa dibaca dengan jelas headline yang tertulis dengan warna merah pada halaman koran itu yang mengingatkan saya akan Natal yang kini tiba.

Malam nanti adalah "Malam Kudus, Malam Damai". Dan setiap hati pasti mengimpikan agar di malam ini mereka bisa menemukan setitik kesegaran, menemukan secercah kedamaian yang dibawa oleh Tuhan yang menjelma.

Judul di kertas koran itu tertulis dalam Karakter khusus bahasa Cina Selamat Hari Natal: Semoga Harapan Anda Menjadi Kenyataan.

Karena tertarik dengan judul tersebut, saya memungut kertas koran yang sudah tercabik dan kotor itu. Saya ingin membacanya. Ternyata ini merupakan halaman khusus yang sengaja disiapkan bagi siapa saja agar menuliskan impian dan harapannya. Koran ini seakan berperan sebagai agen yang meneruskan harapan mereka agar kalau boleh bisa didengarkan oleh Santa Klaus atau oleh Tuhan sendiri. Ada kurang lebih tiga puluh harapan yang dimuat di halaman koran hari ini. Namun saya tertarik dengan harapan yang ditulis oleh seorang gadis kelas tiga SMP.

"Tuhan...apakah Engkau sungguh ada? Aku tak pernah tahu tentang Engkau. Aku tak pernah melihat diriMu. Namun banyak orang mengatakan bahwa malam ini Engkau yang jauh di atas sana akan menjelma menjadi seorang manusia sama seperti diriku dan mendengarkan setiap harapan yang ada di dasar setiap hati. Tuhan kalau Engkau sungguh ada dan malam ini mengetuk hatiku, aku akan mengatakan kepadaMu bahwa aku butuh seorang ayah. Berikanlah aku seorang ayah. Aku tahu bahwa harapanku ini bukanlah sesuatu yang baru, karena sejak kecil aku secara terus-menerus merindukan hal ini.

Kata ibuku di rumahku ada seorang ayah. Aku tahu bahwa di rumahku, di samping ibuku masih ada seorang lelaki yang hidup bersama kami. Dan kata ibu, dia inilah yang seharusnya aku panggil ayah. Namun aku tak pernah merasakan cinta seorang ayah. Setiap hari kami tak pernah mengucapkan lebih dari tiga kalimat. Ketika kami saling berpapasan, yang aku rasakan cumalah kebencian yang terpancar dari sudut kedua matanya.

Benar bahwa ia membayar uang sekolahku. Ia juga membiayai kebutuhan hidupku. Tapi... sebatas itukah yang disebut kasih sayang seorang ayah? Dia tak lebih dari pada seseorang yang harus memenuhi sebuah tuntutan hukum untuk mendampingi diriku, tetapi ia bukanlah ayahku. Setiap ongkos yang keluar untuk membayar uang sekolahku harus aku bayar dengan derai air mata dan isakan tangis, harus aku bayar dengan mata yang membengkak. Inikah kasih sayang seorang ayah?

Tuhan...apakah Engkau mendengarkan diriku? Malam ini ketika Engkau menjelma menjadi seseorang seperti diriku dan menjenguk batinku, hanya satu hal yang aku harapkan. Berikanlah aku seorang ayah. Seorang ayah yang mencintaiku, seorang ayah yang bisa menasihati aku, bukan mencaci diriku."

Setelah membaca tulisan ini saya bisa merasakan kepedihan yang bercokol dalam diri si gadis ini. Saya pernah menjadi seorang anak tiri, anak yang kehilangan seorang ayah ketika masih berumur dua tahun. Dan betapa dalam dan besarnya kerinduanku untuk bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Ketika berumur sembilan tahun saya akhirnya boleh memperoleh seorang ayah lagi.

Namun sahabat, saya yakin anda pernah membaca kisah hidup anak tiri. Saya tak hanya membaca, namun dengan hidupku sendiri saya mengalaminya. Ternyata kerinduanku untuk menyapa seseorang sebagai ayah hanya bisa bertahan dalam mimpi. Itulah nasib menjadi seorang anak tiri.

Namun waktu terus bergulir. Ayah tiriku kini telah ubanan. Kalau dulu saya bermimpi untuk dicintai oleh seseorang yang boleh aku panggil sebagai ayah, walau mimpiku ini tak pernah menjadi kenyataan, namun kini saya hanya bisa berjuang untuk mencintai seseorang dengan harapan bahwa ia boleh menyapa saya sebagai anaknya. Yang ada di dasar bathin ini bukanlah rasa marah dan dendam. Tapi belas kasihan.

Dan ini hanya menjadi mungkin karena saya telah mengalami cinta seorang Bapa yang dibawa oleh seorang bayi mungil di kandang hina. Yesus yang lahir dalam dingin telah mengatakan kepadaku bahwa ada seorang Bapa yang selalu dan senantiasa mencintaiku.

Saya tak perlu lagi mencari dan bermimpi. Kini adalah giliranku untuk membalas cinta tersebut dengan mencintai orang lain, dan...terutama mencintai ayah tiriku.

No comments:

Post a Comment