Sebuah kelompok berisikan 15 orang tentara yang dipimpin oleh seorang Mayor sedang menuju sebuah pos di Himalaya, tempat mereka akan ditempatkan selama tiga bulan ke depan. Kelompok yang akan dibebastugaskan menunggu dengan gelisah.
Cuaca yang dingin dan salju yang turun sesekali membuat pendakian yang berbahaya tersebut semakin sulit. Andai saja ada yang berjualan teh, pikir sang Mayor, meskipun ia tahu itu adalah harapan yang sia-sia.
Mereka melanjutkan perjalanan lagi selama satu jam hingga akhirnya mereka menemukan sebuah bangunan tua yang sudah bobrok, yang terlihat seperti kedai teh, namun terkunci. Saat itu hari sudah larut malam.
"Tidak ada teh, sial", kata sang Mayor kepada kelompoknya. Namun ia menyarankan seluruh anggota kelompok itu untuk beristirahat, karena mereka sudah berjalan selama tiga jam.
"Pak, ini adalah kedai teh dan kita dapat membuat teh, kita dapat merusak kuncinya," saran dari salah satu pasukannya.
Sang Mayor mengalami dilema atas saran yang tidak etis itu, namun memikirkan secangkir teh yang hangat untuk pasukannya yang sudah kelelahan membuatnya memberikan izin. Mereka beruntung, tempat tersebut memiliki seluruh apa yang mereka butuhkan untuk membuat teh, serta beberapa bungkus biskuit. Pasukan itu pun minum teh dan memakan biskuit, lalu mereka bersiap untuk melanjutkan sisa perjalanan.
Sang Mayor berpikir, mereka sudah merusak kunci dan menikmati teh serta biskuit tanpa izin dari pemilknya. Tetapi mereka bukanlah sekelompok pencuri.
Ia mengambil Rs1000 dari dompetnya, meletakannya di atas meja, ditindih dengan tempat gula, sehingga sang pemilik dapat melihatnya. Sang Mayor itu pun merasa terbebas dari tanggung jawab moral. Ia memerintahkan untuk menutup kedai tersebut dan melanjutkan perjalanan.
Tiga bulan berlalu, mereka dengan pantang menyerah melakukan pekerjaan, dan untungnya tidak ada seorangpun yang menjadi korban dalam situasi pemberontakan yang kacau itu.
Tibalah saatnya bagi pastukan lain yang menggantikan mereka. Saat dalam perjalanan pulang, mereka singgah di kedai teh yang sama. Kebetulan pada saat itu kedai tersebut buka dan pemiliknya pun ada di kedai.
Pemilik kedai teh yang sepi tersebut dengan senang hati menyamput ke-15 pelanggannya itu. Mereka semua membeli teh dan biskuit. Mereka berbincang dengan org tua itu mengenai kehidupannya dan pengalamannya berjualan teh di tempat yang terpencil itu.
Orang tua pemilik kedai teh itu memiliki banyak cerita, terutama mengenai keyakinannya akan Tuhan.
"Bapak, jika Tuhan itu ada, mengapa Ia tidak mengeluarkanmu dari kemiskinan seperti ini?" komentar salah seorg dari anggota pasukan.
"Jangan berkata-kata seperti itu, sahabat! Tuhan itu nyata, saya mendapatkan buktinya tiga bulan yang lalu."
"Saya sedang sangat kesulitan karena pada saat itu anak saya satu-satunya dipukuli hingga babak belur oleh teroris yang menginginkan informasi darinya, sementara ia tidak tahu apa-apa. Saya menutup kedai, dan membawa anak saya ke rumah sakit. Ada resep obat yang harus saya tebus, tetapi saya tidak punya uang. Tidak ada satupun yang mau memberi saya pinjaman, karena takut akan teroris. Saat itu saya putus asa.
Hari itu, saya berdoa pada Tuhan, dan Tuhan datang ke kedai saya hr itu. Saat saya kembali ke kedai, saya menemukan gemboknya dirusak. Saya merasa hancur, kehilangan semua yang saya miliki. Tetapi saya menemukan Tuhan meninggalkan Rs1000 di bawah tempat gula. Saya tidak bisa menjelaskan betapa berharganya uang itu pada saat itu. Tuhan itu nyata, sahabat."
Keteguhan keyakinannya terpancar dari mata orang tua itu. 15 pasang mata melihat sang Mayor, yang lalu dengan jelas memberi kode "diam".
Sang Mayor kemudian bangun dan membayar tagihannya. Dia memeluk orang tua itu dan berkata, "Iya, Bapak, saya tahu Tuhan itu nyata dan, tehnya sangat nikmat."
Kemudian ada 15 pasang mata yang hampir tidak dapat membendung air mata mereka masing-masing melihat Mayornya itu. Sungguh sebuah pemandangan langka.
Kenyataannya adalah, kita semua bisa menjadi "perpanjangan tangan Tuhan" bagi siapa saja.
No comments:
Post a Comment