Saturday, February 27, 2016

Kisah Inspirasi - Pertanyaan yang Membuat Marah

Seorang pemuda sedang duduk di depan rumahnya, membaca sebuah surat kabar. Ayahnya, pria yang sudah sangat tua, duduk di dekatnya, melihat taman. Ayahnya sudah mulai kehilangan ingatan dan kemampuan penglihatan serta pendengaran.

Tiba-tiba seekor burung datang, dan bertengger di sebuah cabang pohon  yang rendah. Sang ayah bertanya, "Nak, apa itu?"

Anaknya melihat dan menjawab, "Itu adalah burung gagak."

Sang ayah mengulangi pertanyaannya, "Apa itu?"

Pemuda itu berpikir bahwa ayahnya tidak mendengar jawabannya. Maka dengan nada keras, ia menjawab, "Itu burung gagak!"

Orang tua itu mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Pemuda itu mengerutkan kening, marah. Ia mengulangi jawabannya lebih keras. Kemudian sang ayah bertanya lagi, "Apa itu?"

Pemuda itu berteriak semakin tinggi, "Tidak bisakah kau mengerti? Berapa kali saya telah mengatakan kepadamu, Yah? Itu buruk gagak!" Dengan marah, pemuda itu bangkit dari kursinya, melemparkan korannya ke atas tanah dan bergegas masuk ke rumah dengan rasa marah yang tak terkendali.

Orang tua itu duduk di sana beberapa saat dan kembali ke kamarnya dengan kaki gemetar. Ia membuka koper tuanya dan menemukan buku harian lamanya, yang digunakannya untuk merekam setiap kejadian dalam hidupnya. Ia perlahan-lahan membuka halaman demi halaman yang menceritakan ketika ia merayakan ulang tahun ketiga anaknya. Ia menatap halaman itu dan air mata bergulir di pipinya yang keriput. Ia duduk dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama.

Kemudian, ketika anaknya datang mencari ayahnya, ia melihat buku harian itu terbuka dan ayahnya dalam suasana hati termenung. Karena penasaran, ia membaca halaman terbuka buku harian tua itu. Bunyinya demikian: "Hari ini kita merayakan ulang tahun ketiga anakku. Setelah makan siang, aku duduk di halaman dengan anakku di pangkuanku. Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan duduk di dekat kami. Anakku bertanya dengan semangat, "Apa itu Ayah?" Aku menjawab, "Itu gagak, sayang." Ia mengulangi pertanyaan setidaknya dua puluh kali dan setiap kali aku memberikan jawaban yang sama, memeluknya erat-erat setiap kali aku menjawab pertanyaan lugunya. Pertanyaan yang diulang itu tidak membuatku marah, tapi malah membuatku mencintainya lebih dan lebih. Membuatku puas dan sukacita setiap kali menjawab pertanyaannya yang lugu lagi dan lagi."

Membaca tulisan itu, pemuda itu merasa malu atas reaksinya terhadap pertanyaan ayahnya sebelumnya. Ia berlutut di kaki ayahnya dan menangis dalam kesedihan yang mendalam, dan meminta maaf  berkali-kali.

Semua agama mengajarkan kita untuk menghormati dan mencintai orangtua kita. Pertanyaan lugu, komentar, atau permintaan dari orangtua kita yang sudah lanjut usia seharusnya tidak membuat kita marah.

No comments:

Post a Comment