Friday, September 5, 2014

Fwd: Inspirasi - Kumainkan Piano Untuk ibu Tersayang

Saya seorang mantan guru sekolah musik dari Desa Moines, Iowa, Amerika Serikat. Saya mendapat nafkah dengan mengajar piano-selama lebih dari 30 tahun. Selama itu, saya menyadari tiap anak punya kemampuan musik yang berbeda. Tapi saya tidak pernah merasa telah menolong walaupun saya telah mengajar beberapa murid berbakat. Walaupun begitu, saya ingin bercerita tentang murid yang "tertantang secara musik". Contohnya adalah Robby.

Robby berumur 11 tahun, ketika ibunya memasukkan dia dalam les untuk pertama kalinya. Saya lebih senang kalau murid (khususnya laki-laki) mulai ketika lebih muda, saya jelaskan itu pada Robby. Tapi Robby berkata, ibunya selalu ingin mendengar dia bermain piano. Jadi saya jadikan dia murid.

Robby memulai les pianonya dan dari awal saya pikir dia tidak ada harapan. Robby mencoba, tapi dia tak mempunyai perasaan nada maupun irama dasar yang perlu dipelajari. Tapi dia mempelajari benar-benar tangga nada dan beberapa pelajaran awal yang saya wajibkan untuk dipelajari semua murid.

Selama beberapa bulan, dia mencoba terus dan saya mendengarnya dengan ngeri dan terus mencoba menyemangatinya. Setiap akhir pelajaran mingguannya, dia berkata, "Ibu saya akan mendengar saya bermain pada suatu hari."

Tapi rasanya sia-sia saja. Dia memang tak berkemampuan sejak lahir. Saya hanya mengetahui ibunya dari jauh ketika menurunkan Robby atau menjemput Robby. Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan tapi tidak pernah turun.

Pada suatu hari, Robby tidak datang lagi ke les kami. Saya berpikir untuk menghubunginya, tapi karena ketidakmampuannya, mungkin dia mau les yang lain saja. Saya juga senang dia tidak datang lagi. Dia menjadi image yang buruk untuk pengajaran saya!

Beberapa minggu sesudahnya, saya mengirimkan brosur ke tiap murid, mengenai pertunjukan yang akan dilaksanakan. Yang mengagetkan saya, Robby (yang juga menerima brosur) menanyakan saya apakah dia bisa ikut pertunjukan itu.

Saya katakan kepadanya, pertunjukan itu untuk murid yang ada sekarang dan karena dia telah keluar, tentu dia tak bisa ikut.

Dia katakan bahwa ibunya sakit sehingga tak bisa mengantarnya ke les, tapi dia tetap terus berlatih. "Bu Hondrof… saya mau main!" dia memaksa.

Saya tidak tahu apa yang membuat saya akhirnya membolehkan dia main di pertunjukan itu. Mungkin karena kegigihannya atau mungkin ada sesuatu yang berkata dalam hati saya bahwa dia akan baik-baik saja.

Malam pertunjukan datang. Aula itu dipenuhi dengan orang tua, teman, dan relasi. Saya menaruh Robby pada urutan terakhir sebelum saya ke depan untuk berterima kasih dan memainkan bagian terakhir. Saya rasa kesalahan yang dia buat akan terjadi pada akhir acara dan saya bisa menutupinya dengan permainan dari saya.

Pertunjukan itu berlangsung tanpa masalah. Murid-murid telah berlatih dan hasilnya bagus. Lalu Robby naik ke panggung.Bajunya kusut dan rambutnya bagaikan baru bangun tidur. "Kenapa dia tak berpakaian seperti murid lainnya?" pikir saya. "Kenapa ibunya tidak menyisir rambutnya setidaknya untuk malam ini?"

Robby menarik kursi piano dan mulai. Saya terkejut ketika dia menyatakan bahwa dia telah memilih Mozart's Concerto#21 in C Major. Saya sangat terkejut namun saya siap mendengarkan permainan Robby. Jarinya ringan di tuts nada, bahkan menari dengan gesit. Dia berpindah dari pianossimo ke fortissimo.. . dari allegro ke virtuoso. Akord tergantun sangat harmonic sepertia yang di mainkan Mozart. itu sangat mengagumkan! Saya tak pernah mendengar lagu Mozart dimainkan orang seumur dia sebagus itu!

Setelah enam setengah menit, dia mengakhirinya dengan crescendo besar dan semua terpaku disana dengan tepuk tangan yang meriah. Dalam air mata, saya naik ke panggung dan memeluk Robby dengan sukacita. "Saya belum pernah mendengar kau bermain seperti itu, Robby! Bagaimana kau melakukannya? "

Melalui pengeras suara Robby menjawab, "Bu Hondorf…ibu ingatkan kalau saya berkata bahwa ibu saya sakit? Ya, sebenarnya beliau sakit kanker dan beliau telah berlalu pagi ini. Ibu saya itu tuli sejak lahir jadi hari inilah dia pertama kali mendengar saya bermain. Saya ingin bermain secara khusus untuk ibu yang telah meninggal dunia bu guru." Dengan meraih pengerah suara ia berkata, "Ibu, lagu yang indah yang tadi aku mainkan kupersembahkan untuk ibu, yang sekarang berada di surga.  Aku mainkan seperti yang ibu minta, terima kasih ibu setelah sekian lama menemaniku di sisi pianoku saat aku berlatih di rumah, meski ibu tidak mendengar namun senyumu di sampingku saat berlatih sangat menyemangatiku. Selamat istirahat di surga bu, Tuhan akan menyayikan lagu-lagu merdu dengan piano yang indah untuk ibu di surga."

Tidak ada satu pun mata yang kering malam itu. Semua meneteskan air mata. Ketika orang-orang membawa Robby ke belakang panggung, saya menyadari meskipun mata mereka merah dan bengkak, betapa hidup saya jauh lebih berarti karena mengambil Robby sebagai murid saya.

Tidak, saya tidak pernah menjadi penolong, tapi malam itu saya menjadi orang yang ditolong Robby. Dialah gurunya dan sayalah muridnya. Karena dialah yang mengajarkan saya arti ketekunan, kasih, percaya pada diri sendiri, dan bahkan mau memberi kesempatan pada seseorang yang tak anda ketahui mengapa.

Peristiwa ini semakin berarti ketika, setelah bermain di Desert Storm, Robby terbunuh oleh pengeboman yang tak masuk akal oleh Alfred P. Murrah Federal Building di Oklahoma pada April 1995, ketika dilaporkan.. . dia sedang main piano.

Kita semua mempunyai ribuan kesempatan tiap hari untuk menyadari rencana Tuhan. Banyak sekali interaksi antara kita dan Tuhan lewat orang-orang yang kita temui, dan semuanya memberi kita suatu pilihan. Apakah kita akan meneruskan percikan Ilahi? Atau kita membiarkan kesempatan itu, dan menanggapi dingin ajakan untuk berbuat baik?

Berkarya dan lakukan sekarang juga.

No comments:

Post a Comment