Friday, January 29, 2016

Kisah Inspirasi - Menjadi Keluarga Harmonis


Tidak selamanya kapal itu berlayar di samudera yang tenang dan teduh. Ada kalanya pesawat itu harus melewati awan yang menggumpal, dan sering terjadi kendaraan itu harus melalui jalan terjal dan berliku, serta jatuh dan terantuk adalah bagian dari pengalaman saat kita berjalan.

Juga, tidak selamanya bahtera keluarga itu berlayar tenang, adem, dan indah. Ada kalanya badai hidup dan topan dahsyat menghempasnya. Namun ingatlah keyakinan yang mengatakan bahwa kita kadang butuh tantangan sehingga kita menjadi kuat, teguh, ulet dan tangguh. Bukankah pohon itu semakin kuat karena silih ganti dihempas angin?

Catatan harian ini mewakili harapan dari pasangan suami-isteri (pasutri) yang mempunyai sejuta impian menjadi keluarga indah dan bahagia. Namun untuk menggapainya butuh tetesan keringat yang tidak sedikit, butuh pengorbanan dan bahkan suami-isteri harus "membayar" mahal. Benar, tangisan, kesedihan dan penderitaan kadang menghiasinya. Karena itu janganlah sesali kalau senyuman itu pernah hambar, tatapan itu kadang-kadang kosong dan sapaan itu sepintas berlalu saja. Itu adalah riak-riak yang mencatat indahnya sebuah perjuangan.

Perkawinan bukanlah sebuah proyek hidup yang sekali dan lalu selesai. Tanamkanlah bahwa bukan otomatis kebahagiaan dan kesuksesan hidup berkeluarga menjadi milikmu, walau Tuhan berjanji menyediakan kebahagiaan bagi semua orang. Pernikahan itu justru langkah awal untuk memulai hidup yang baru, di mana kamu resmi menjadi keluarga dan tinggal di atap yang sama. Karena itu kita dipanggil untuuk menatanya, memeliharanya dan melestarikannya.

Saat resmi menjadi pasutri, bukan berarti perbedaan itu terhapus, bukan juga otomatis sifat itu terkikis dan pembawaan asli itu hilang. Pernikahan juga bukan suatu "parade sulap'" atau "mi instan" dalam sekejap berobah dan siap saji. Itu adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu, kerja sama dan kesabaran.

Namun perbedaan dan sikap yang tidak sama, tidak menghalangi pasutri untuk menciptakan keluarga yang harmoni. Bukankah makanan yang enak itu diresapi oleh bumbu yang berbeda? Bukankah bunga yang dipot itu sangat indah karena terdiri dari beberapa warna? Bukankah lukisan indah itu merupakan kombinasi warna yang bervariasi? Duduk semeja waktu makan, genggaman erat kasih dan cinta di ruang televisi, cipika atau cipiki (cium pipi kanan atau cium pipi kiri) saat mau kerja dan saat pulang ke rumah, bukanlah hal yang mahal namun itu bisa menciptakan kesatuan dalam rasa dan perasaan.

Maka satu hal yang perlu ditanamkan ialah kata "kita" dan bukan "saya", "kamu", apalagi "kau". Kata "kita" mengandung makna yang dalam. Kita berjalan bersama, problem itu adalah masalah bersama dan bukan masalahku dan masalahmu, karena itu kita atasi bersama. Jangan memposisikan diri di luar masalah itu, atau hanya menjadi penonton. Jangan posisikan dirimu di luar masalah itu, atau hanya menjadi penonton.

Kata "kita" bermaksud mempersatukan sementara "kamu" apalagi "kau" berarti memisahkan.

Karena itu, indah bila suami bergumam, "Dalam kelemahanku, isteriku menjadi "solusi" terbaik sehingga aku kuat." Dan isteri mengatakan, "Dalam keletihan dan kesedihanku, suamiku menjadi pelepas dahaga, dan pelipur lara." Jadikanlah sapaan terakhir ini menjadi hiasan hidup sebagai pasutri, "Tuhan sumber cinta, Aku meyakini bahwa isteriku ini adalah hadiah terindah darimu yang kuterima dari kemurahanMu. Tuhan yang pemersatu, saya bersyukur karena suamiku ini merupakan harta tak terkira yang sangat berharga dan membuat perbedaan dalam hidupku."

No comments:

Post a Comment